Monthly Archives: Juli 2012

Ingin Berhenti dari Dakwah…

Standar

Sebuah Dialog selepas malam, “Akhi, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.”

Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murobbinya.

Sang murobbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’u-nya. “Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murobbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana lebih baik sendiri saja” jawab ikhwah itu.

Sang murobbi termenung kembali. Tak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal. “Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok.Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?” tanya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. “Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?” sang murobbi mencoba memberi opsi. “Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang sampai tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?”

Serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang ikhwah tersebut. Tak ayal, sang ikhwah menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormatinya justru tak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya. “Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah Swt?”

Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang ikhwah. Ia hanya mengangguk. “Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murobbi lagi.

Sang ikhwah tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya; “Cukup Ustad, cukup. Ana sadar. Maafkan ana, Insya Allah ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan” “Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah.Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana.” Sang mad’u berazzam di hadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.

Sang murobbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.” “Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka. Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal”.

“Apabila setiap ketidaksepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar. “Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-menuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.” Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murobbinya. Azzamnya memang kembali menguat.

Namun ada satu hal tetap bergelayut di hatinya. “Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga. “Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tak ada yang bisa menilai bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!” sahut sang murobbi. “Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah tausyiah dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang pada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu.

Karena peringatan selalu berguna bagi orang yang beriman. Bila ada sebuah isu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.” Malam itu, sang mad’u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Subhanallah…

Keep Istiqomah…!!

Potret Hidup Rasulullah Vs Kader Tarbiyah

Standar

Ketika Islam telah memiliki pengaruh yang sedemikian kuat dan disegani, dan ketika para raja-raja di Romawi bergelimang harta, maka Rasulullah masih saja tidur beralaskan tikar di rumahnya yang sederhana. Kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menambalnya sendiri, tidak menyuruh isterinya. Beliau juga memerah sendiri susu kambing, untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.

Setiap kali pulang ke rumah, bila dilihat tiada makanan yang siap untuk dimakan, sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur. Sayidatina ‘Aisyah menceritakan: ”Kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga.”

Jika mendengar adzan, beliau cepat-cepat berangkat ke masjid, dan cepat-cepat pulang kembali sesudah selesai sholat. Pernah Rasulullah pulang pada waktu pagi. Tentulah beliau amat lapar waktu itu. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina ‘Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya, “Belum ada sarapan ya Khumaira?” (Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina ‘Aisyah yang berarti ‘Wahai yang kemerah-merahan’). Aisyah menjawab dengan agak serba salah, “Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.” Rasulullah lantas berkata, ”Kalau begitu aku puasa saja hari ini.” tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya. Ini sesuai dengan sabda beliau, “sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya.” Prihatin, sabar dan tawadhu’nya baginda SAW sebagai kepala keluarga.

Pada suatu ketika baginda menjadi imam sholat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan baginda antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai sholat:

“Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?”

“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar”

“Ya Rasulullah… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.

Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.

“Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak tidak boleh menyediakan untukmu ya Rosulullah?”

Lalu baginda menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?”

“Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

Baginda Rasulullah pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor. Seolah-olah anugerah kemuliaan dari Allah tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.

Ahmad mengeluarkan dengan isnad yang shahih, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Umar bin Al-Khaththab ra. bercerita kepadaku, “Aku pernah memasuki rumah Rasulullah Shallailahu Alaihi wa Sallam, yang saat itu beliau sedang berbaring di atas selembar tikar. Setelah aku duduk di dekat beliau, aku baru tahu bahwa beliau juga menggelar kain mantelnya di atas tikar, dan tidak ada sesuatu yang lain, Tikar itu telah menimbulkan bekas guratan di lambung beliau. Aku juga melihat di salah satu pojok rumah beliau ada satu takar gandum. Di dinding tergantung selembar kulit yang sudah disamak. Melihat kesederhanaan ini kedua mataku meneteskan air mata.

“Mengapa engkau menangis wahai Ibnul-Khaththab?” tanya beliau.

“Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis jika melihat gurat-gurat tikar yang membekas di lambung engkau itu dan lemari yang hanya diisi barang itu saja? Padahal Kisra dan Kaisar hidup di antara buah-buahan dan sungai yang mengalir. Engkau adalah Nabi Allah dan orang pilihan-Nya, sementara lemari engkau hanya seperti itu.

“Wahai Ibnul-Khaththab, apakah engkau tidak ridha jika kita mendapatkan akhirat, sedangkan mereka hanya mendapatkan dunia?”

 ***

Sahabat, Begitulah dunia dimata Junjungan Kita Nabi Muhammad SAW. Beliau-lah suri tauladan kita sebagai hamba. Padahal, sekali lagi islam dibawah kepemimpinannya telah disegani dan memiliki pengaruh yang luar biasa. Beliau adalah Khalifah sekaligus Rasulullah, seorang pimpinan ummat yang besar. Tetapi mari kita bayangkan kehidupannya kita saat sekarang ini. Benarlah kata para ustad kita, bahwa semakin jauh rentang generasi semakin jauh pula pemahaman kadernya terhadap cita-cita para pendiri dakwah. Sekali lagi, coba kita lihat bagaimana dengan kondisi kita saat ini? Bagaimana dengan kondisi perahu kita kini? Kita semua pasti setuju kalau kejayaan rasanya masih belum tampak dipelupuk mata, tetapi kehidupan “kita” sudah sulit dibedakan antara yang menginginkan akhirat dengan yang menginginkan dunia semata. Coba rasakan lagi dan jujur pada diri sendiri, masyarakat pada umumnya telah sulit membedakan antara “kita” yang para da’i dengan para politisi lainnya yang terpedaya dengan harta. Lantas, masihkah kita menganggap bahwa perjuangan di parlemen bagian dari dakwah? Atau justru, keberhasilan kita menduduki pos-pos parlemen atau berbagai kepala daerah menjadikan kita golongan yang disibukkan dengan banyaknya proyek “fisik” yang kita kerjakan atau bahkan disibukkan karena tidak adanya bagian proyek yang kita dapatkan?

Saya yakin ketika ada kritikan dari luar maupun dari dalam akan gaya hidup kita atau gaya hidup qiyadah (pimpinan:red) dakwah kita yang tidak wajar dan terkesan berlebihan, maka dengan membabi buta dan semangat tidak mau intropeksi diri, kita selalu membela habis-habisan dengan mengatakan bahwa banyak sahabat yang hidup kaya seperti Utsman bin ‘Affan ra, Zubair bin Awwam ra, Abdurrahman bin Auf ra, dll. Padahal keimanan dan ketaatan para sahabat-sahabat itu dengan kita tentu berbeda. Benarkan? Kalau-pun ada yang merasa sama, sekali lagi bukankah yang menjadi tauladan kita itu kehidupan Rasulullah Saw?

Sama dengan yang lain, kita juga sependapat, bukan tidak boleh kaya, tetapi rasanya mesti tepa selira dengan kondisi ummat yang saat ini banyak hidup prihatin. Mustahil rasanya kita bisa menyamai saudara-saudara kita yang telah merengguk kemenangan didaratan arab, bila kita tidak mampu menampilkan pembeda antara kita dan yang lainnya. Salah satu unsur pimpinan distruktur daerah yang sangat saya kagumi dan cintai karena-Nya pernah mengatakan, “mungkin saja kekalahan ibu kota negara sebagai teguran buat kita yang selama ini bermesraan dengan al-bathil”. Tentu statement itu pendapat pribadi, tapi tentu itu bukan omong kosong belaka. Masyarakat pada umumnya lebih suka dan menggemari sosok sederhana dan merakyat, yang kita bisa katakan seperti figur Dahlan Iskan dan Jokowi. They are rich but their life so simple. Right?

So, Semoga kekayaan yang kita miliki sebagai para da’i serta kepercayaan yang kini sudah diberikan oleh masyarakat baik didaerah maupun ditingkat pusat menjadi berkah tersendiri dan terasa buat yang lainnya. Agar bola salju kepercayaan itu terus menggelinding lebih besar dan terus menggerus zaman. Hingga tujuan menjadi ustad bagi seluruh alam menjadi sebuah kenyataan, walau bukan di masa hidup kita, tetapi kita turut menggelindingkan cita-cita mulia itu. Semoga adanya kita terasa ditengah masyarakat dan jangan sampai ada dan tiadanya kita sama saja, apalagi dengan keberadaan kita menjadi beban dan bahan olokan masyarakat sekitar. Agar harapan itu memang benar masih ada. Semoga. Aamiin…

*Sebagai bahan renungan buat diri sendiri dan kita semua dalam perlayaran di kapal induk tarbiyah ini.

 Kota Nan Panas, 07 Ramadhan 1433 H

Oleh: Hudhafah As-Sahmi

Lelahnya Hidup Menyendiri [Sebuah bisikan lembut untuk para lajang]

Standar

Saudaraku..
Suatu senja, saat angin sepoi-sepoi menyapa wajah, ada seorang teman yang menyanyikan gending-gending hatinya. Ia berbicara dari relung hatinya yang paling dalam. Matanya berkaca-kaca menerawang jauh membelah zaman. Tetesan bening berjatuhan dari kelopak matanya yang sayu. Ia mengungkapkan angan-angannya perihal seorang dara manis tambatan hatinya, yang selalu memenuhi cakrawala pikirannya.

 Hasrat dan dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup telah banyak menyita konsentrasinya. Terlebih usia yang semakin merambat naik. Daya serap terhadap suatu ilmu pengetahuan tidaklah setajam dulu. Konsentrasi dalam menjalani hidup seolah-olah hilang seiring dengan perginya musim dingin.

Shalat yang dilakukannya sangat jauh dari kata khusu’. Ketika membaca do’a iftitah, “Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan es,” yang muncul justru bayangan puteri salju melambai-lambai menarik simpati. Demikianlah semakin lama, bacaan shalat pun semakin hilang dari nilai penghayatan.

 Hidup menyendiri memang sangat melelahkan. Jiwa lunglai karena didera oleh perasaannya sendiri. “Kesendirian adalah kumpulan duka nestapa”, demikian Khalil Gibran menyindir para lajang.
Wajar, jika syekh Mustafa Siba’i menggambarkan, “Ibadahnya seorang lajang, pikirannya dipenuhi bayang-bayang setan. Sedangkan ibadah orang yang telah menikah, pikirannya dipenuhi dengan cinta Ar Rahman.”

Saudaraku..
Barangkali sahabat kita tadi hanya salah satu dari sekian banyak orang yang masih sendiri dalam meretasi perjalanan hidup di dunia ini. Sendiri tanpa seorang pendamping yang dapat membantunya semakin dekat kepada Allah Swt. Sendiri mengarungi samudera hari yang sepi sunyi. Tersiksa membendung gelombang syahwat biologis yang belum tersalurkan dalam ridha Ilahi Rabbi.

Orang yang masih sendiri (lajang), ia merasakan sepi dalam kesendiriannya. Dan sunyi dalam keramaian. Kepahitan memantul dari senyumnya. Berduka di balik canda tawanya. Saat pulang kerja, tiada yang dilihatnya melainkan dinding dan tembok rumah yang mulai retak. Di sana sini terlihat pakaian kotor berserakan. Yang ada di langit-langit pikirannya hanyalah khayalan-khayalan semu belaka. Tidur pun bertemankan bantal guling dan lamunan. Terasa sulit mata untuk dipejamkan. Bertandang ke rumah teman dengan tujuan menghilangkan kepenatan. Bisikan-bisikan setan membangkitkan nafsu kemaksiatan. Kondisi semacam ini terus berulang tanpa ada kepastian dan perubahan. Terkecuali bila telah mengakhiri masa lajang dengan ikatan pernikahan. Yang akan menghantarkannya pada kehidupan yang penuh dengan keberkahan.

Saudaraku..
Apa yang menjadi alasan bagi seseorang yang bertahan hidup membujang? Sebagian orang terinspirasi lagu Koes Plus tempo dulu, “Memang enak jadi bujangan. Kesana kemari tiada yang melarang..”. Faktanya, malah banyak lajang yang kelimpungan menanggung beban. Beban mental dan beban yang di bawah pusar. Ada yang beralasan belum mapan secara ekonomi. Padahal setelah nikah, seorang suami berkewajiban memberi nafkah bagi pasangannya; sandang, pangan, papan dan yang seirama dengan itu. Jika ini pemicunya, berarti ia belum membenarkan janji Allah Swt, “Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” An Nur: 32. Dan ada pula yang berargument, belum mendapatkan gadis pilihan yang cocok dan sreg di hati. Bisa jadi kriteria calon pendamping hidup yang diminta terlalu tinggi, sehingga sulit ditemukan di alam realita. Misalnya, mendambakan seorang dokter yang hafal Qur’an dan berusia 17 tahun dan seterusnya. Atau barangkali menargetkan pendamping hidup yang sempurna tanpa cela. Sempurna baik dari sisi zahir dan bathin. Hal ini jelas tak akan dia dapatkan, hingga ajal menjemputnya.
Menempuh pendidikan tinggi. Mendaki puncak prestasi dan yang senada dengan itu, juga menjadi alasan seseorang menikmati masa lajang. Padahal jika kita belajar dari era generasi terbaik; zaman sahabat, kita temukan satu fakta bahwa menggapai prestasi terbaik, mencapai kematangan pribadi dan kedewasan berpikir serta kelayakan menerima amanah, dimulai pasca pernikahan.

Usamah bin Zaid ra, di usia 18 tahun ia memimpin sebuah pasukan yang di dalamnya ada beberapa sahabat senior dari kalangan Muhajirin, semisal; Abu Bakar dan Umar. Saat itu ia sudah menikah dengan Fatimah binti Qais ra. Zaid bin Tsabit ra, diberi kepercayaan oleh Nabi saw untuk menulis wahyu di usia belum mencapai 20 tahun, ia juga bukan berstatus lajang lagi. Jabir bin Abdullah ra, di usia sangat muda ia telah mempersunting seorang janda. Dengan pertimbangan, istrinya bisa mengayomi adik-adiknya yang semuanya adalah perempuan. Prestasi Jabir sangat luar biasa di medan perjuangan dan Islam. Ia banyak meriwayatkan hadits. Demikian pula ia menjamu Rasul saw dan para sahabatnya di perang Khandaq, yang kurang lebih selama 3 hari mereka tak menemukan makanan sepotongpun. Begitulah para sahabat Nabi saw, dengan segudang prestasi di hadapan Allah Swt dan manusia. Prestasi mengagumkan untuk dunia dan akherat, mereka raih setelah menggenapkan separuh dien-nya, yakni pernikahan. Di usia yang terbilang muda, kurang dari 25 tahun.

Saudaraku..
Kehidupan lajang ibarat seseorang yang hidup tanpa pakaian yang menutupi tubuhnya. Di musim dingin, bibirnya membiru melawan cuaca dingin yang menusuk tulang sumsum. Di musim panas, tubuhnya terbakar hangus lantaran tiada pakaian yang melindungi tubuhnya dari sengatan matahari. Allah Swt menggambarkan dalam al Qur’an, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun pakaian bagi mereka.” Al Baqarah: 187. Dunia lajang seperti petani miskin yang tak memiliki lahan, sawah dan ladang. Hidupnya bergantung kepada orang lain. Menggantungkan nasib pada si pemilik sawah dan ladang. Sungguh indah Allah Swt menggambarkan, “Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam.” Al Baqarah: 223. Oleh karena itu, para lajang hidupnya akrab dengan negeri rantau. Tidak betah menikmati hidup di kampung halaman sendiri. Bahkan di rumah sendiri pun, tidak betah berlama-lama tinggal di sana. Hal itu wajar, karena memang belum ada yang membuatnya betah tinggal di rumah dan tiada sosok lemah lembut yang mengkhawatirkannya masuk angin jika banyak keluar rumah.

Saudaraku..
Renungkanlah sabda Nabi saw ini, “Seburuk-buruknya manusia di antara kamu adalah orang yang hidup melajang.” H.R; Ahmad. Oleh karena itulah generasi terbaik ummat ini sangat berhati-hati dan mewaspadai permasalahan ini. Ibnu Abbas ra pernah berkata, ”Menikahlah kalian, karena satu hari bersama seorang istri, lebih baik dari pada shalat yang dikerjakan (orang yang belum menikah) selama satu tahun.”

 Ibnu Mas’ud ra pernah berkata pada saat ia tertusuk pedang ketika perang sedang berkecamuk, ”Nikahkanlah aku, sebab aku merasa malu jika menghadap Allah Swt dalam keadaan membujang.” Ia juga pernah bertutur, “Sekiranya aku tahu bahwa sisa usiaku tinggal sepuluh hari lagi, maka aku segera akan menikah, agar aku tidak menghadap Allah dalam keadaan membujang.” Muadz bin Jabal ra ketika kedua istirinya meninggal dunia karena menjalarnya wabah kolera, sementara ia mulai terjangkiti, maka ia berkata, “Nikahkanlah aku, karena aku khawatir akan mati, dan menghadap Allah dalam keadaan tidak beristri.”

Saudaraku..
Alangkah indahnya jika kita yang masih hidup menyendiri, merenungi pesan Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah: “Jangan engkau tunda mengakhiri masa lajangmu karena beratnya beban yang ditanggung. Karena satu hari yang dilalui orang yang melajang, lebih berat daripada memikul bongkahan gunung yang besar. Jangan engkau menunda pernikahanmu, karena banyaknya nafkah yang harus dikeluarkan. Ketahuilah bahwa nafkah yang dikeluarkan orang yang menikah ibarat orang yang membiayai taburan benih di pematang sawah. Sedangkan nafkah yang dikeluarkan oleh orang yang hidup menyendiri laksana menebar benih di lautan biru.”

Saudaraku..
Bagi anda yang masih hidup menyendiri, jujurlah pada hati nurani. Jangan biarkan luka di hatimu semakin menganga lebar tanpa ada yang membantumu membalut luka itu. Jangan biarkan awan mendung menggelapkan wajahmu. Sudah waktunya keceriaan hidup anda kecap, dalam indahnya pelangi pernikahan.

Bagi kita yang telah memiliki pendamping hidup, mari kita rawat dan jaga pakaian milik kita. Kita tanam benih kebaikan di sawah ladang milik kita. Sehingga kita dapat meraih hasil panen yang berlimpah ruah. Di dunia kini dan akherat sana. Amien.

Riyadh, 25 Mei 2012 M
Sumber: Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

*Pesan untuk diri sendiri. InsyaAllah, akan indah pada waktunya (Jurus para lajangers ^___^)

Optimisme Sebagai Obor Kepahlawanan

Standar

Ya, saya akan berusaha. Saya yakin saya pasti bisa. Doakan ya! Orang itu kemudian memegang tali yang terbentang di atas sungai. Saya pasti bisa!! Teriaknya sambil mengepalkan tangannya penuh semangat. Ia kemudian melompat, namun sayang pendaratan lompatannya tidak berhasil dengan mulus, ia terjatuh di ujung pijakan, dan masuklah ke dalam air. Maafkan saya, saya akan berusaha lagi nanti. Katanya dengan optimis. Acara itu memang lucu sekali, namun ada sebuah pesan penting yang mesti diambil dari sekedar kelucuannya saja. Cobalah mulai mentafakuri acara tersebut. Dari ratusan peserta terseleksilah puluhan, kemudian di ujian selanjutnya yang berhasil semakin sedikit, namun satu yang tidak pernah hilang dari satu jam penayangan acara tersebut ialah keoptimisan para peserta, mereka berani mencoba, berani sakit, dan terlebih lagi mereka berani malu. Satu jargon yang selalu terdengar saat mereka memasuki sebuah ujian ialah Saya pasti bisa! dan kata penutup yang sudah pasti jika mereka berhadapan dengan kegagalan ialah Maafkan saya, saya sudah berusaha, lain kali saya akan mencoba lagi. Mereka adalah orang-orang yang sebagian besar menjadikan matahari sebagai Tuhannya dan Dewa-dewa sebagai tempat bersandarnya, namun kenapa mereka memiliki keoptimisan yang begitu tinggi. Sementara kita adalah umat yang menyembah Allah Penguasa Semesta, harusnya kita jauh lebih baik.

Kemana harus dicari mutiara-mutiara optimisme itu? Dimana harus digali sumber-sumber mata air hamasah (Semangat) dan saja’ah (keberanian) itu? Bukankah kini kita berhadapan dengan benteng yang jauh dan jauh lebih berat dari benteng Takeshi? Sudah seharusnya setiap diri mulai mempersiapkan apa yang bisa diberikan untuk berkontribusi. Karena kaedah yang benar adalah hanya orang-orang yang memiliki saja yang bisa memberi dan berbagi.

Jembatan optimisme harus mulai dibangun dihati setiap kita. Hingga kita bisa menyadari bahwasanya semua tribulasi yang terjadi hari ini disekitar kita dan di negara ini perlu sesegera mungkin untuk diselesaikan, dan kita yakin bahwa kita bisa untuk menyelesaikannya. Tidak saatnya lagi kita memaki zaman agar ia berubah dengan sendirinya. Atau sudah tidak saatnya juga kita mesti menunggu seorang pahlawan baru yang kemudian bisa menyelesaikan semua hanya seorang diri saja. Setiap kita harus sudah berani mengatakan bahwasanya kita adalah pahlawan-pahlawan itu. Ada sebuah kesalahan yang sering kita lakukan ketika kita menyebutkan tentang pahlawan. Kita selalu membayangkan bahwa para pahlawan itu relatif berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Tidak juga sepenuhnya itu salah. Tetapi yang mesti kita pahami adalah anggapan itu menjadi salah ketika kita menisbatkan sebuah kejayaan atau kemenangan lahir dari satu orang pahlawan saja. Padahal bisa jadi, pahlawan yang kita elu-elukan dan terkenal itu hanya memberikan sentuhan akhir dalam bait perjuangannya. Ada banyak orang lain yang kita lupakan, padahal mereka juga adalah bagian dari proses pemenangan perjuangan itu.

Ada banyak kisah yang melegenda yang mengajarkan kepada kita bahwa pahlawan itu sejatinya tidak sendiri. Misalnya ketika kita menempatkan Sholahuddin Al-Ayyubi sebagi tokoh kunci, yang bersifat tunggal, dalam menghadapi pasukan salib. Padahal pasukan salib telah menguasai Al-Quds selama sekitar 90 tahun. Dan sepanjang tahun-tahun itu ada banyak perlawanan disana-sini, ada banyak gerakan dakwah dan penyadaran sosial, ada banyak tokoh yang turut mengkondisikan situasi kemenangan yang kemudian diselesaikan secara gemilang oleh Sholahuddin Al-Ayyubi. Jadi kemengan dalam perang salib adalah karya beberapa generasi, bukan karya Shollahudin Al-Ayyubi sendiri. Satu lagi, Perang Ain Jalut yang melegendakan Muzaffar Quthuz karena berhasil merontokkan sekaligus menghancurkan serangan pasukan tartar, juga didahului oleh prakondisi sosial politik, yang memungkinkan kemenangan itu diraih. Ada ulama seberani Izzudin Bin Abdissalam yang mengkondisikan masyarakat Syam sebelum kemudian bergabung dengan pasukan Islam di Mesir dalam menghadapi Tartar. Muzaffar Quthuz memang memenangkan pertempuran itu, tapi itu bukan karya pribadinya sendiri. Itu merupakan karya bersama beberapa generasi.

Disinilah kita belajar bahwasanya kita harus mulai berbuat dan menyibak tabir pesimisme yang senantiasa merongrong. Kita sebagai pemuda adalah orang yang paling bertanggungjawab untuk memperbaiki bangsa ini dengan sentuhan-sentuhan keimanan dihati kita. Negara ini butuh banyak pahlawan dengan berbagai karakter kepemimpinannya. Sudah saatnya setiap kita tidak lagi menjadi bangsa Nato (No Action, Talk Only), karena banyak orang yang bisa berbicara tetapi sedikit diantaranya yang bisa benar-benar bekerja. Sudah semestinya kita tidak lagi menjadi pengamat negeri ini tetapi kita harus menjadi pelaku yang siap menorehkan kontribusi dan potensi terbaiknya. Mari buktikan bersama hasil karya-karya kita untuk kemajuan tanah kelahiran kita, hingga nanti tanpa disadari akan ter-akumulasi hasil kerja setiap kita menjadi sebuah prestasi dan kemajuan demi kemajuan buat bangsa ini. Saat itu kita akan menyaksikan bahwa kita adalah pahlawan-pahlawan sejati itu. Pahlawan yang selalu optimis menghadapi aral dan rintangan yang menghadang. “Pahlawan sejati adalah mereka yang mau mempersembahkan darahnya untuk sejarah kebangkitan Ummat. Pahlawan sejati adalah mereka yang rela menjadikan jasadnya sebagai tangga untuk membangun kemuliaan dan kemegahan Ummat. Pahlawan sejati adalah mereka yang rela menjadikan tulang-tulangnya sebagai tiang penyangga istana Ummat agar menjadi kuat .”  Walau kita tidak dikenal orang atau bahkan kejayaan itu hadirnya tidak pada masa kita tapi cukuplah itu menjadi sejarah manis dalam hidup kita yang tertulis dengan tinta emas dihadapan-Nya.

Dan Katakanlah : “ Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

(QS. At-Taubah : 105)

*Pernah dipublish oleh B-Ar Edisi VI (Rabi’ul Awal, 1432 H)

Episode I : Aku Bukan Anak KAMMI dan ROHIS lagi..!!

Standar

Mentari menyala disini

Disini didalam hatiku

Gemuruhnya sampai disini

Disini diurat darahku

Meskipun tembok yang tinggi mengurungku

Berlapis pagar duri disekitarku

Tak satupun yang mampu menghalangiku

Menyala didalam hatiku

Hari ini milikku

Juga esok masih terbentang

Dan mentari kan tetap menyala

Disini diurat darahku…

 

(Mentari)

 

Pertengahan tahun 2006, sejarah kumulai disini. Kampus ini begitu menyeramkan dibenakku. Begitulah kesan pertama menginjakkan kaki dikampus yang katanya memiliki konsep kampus dalam taman. Kampus “angker” kataku. Kenapa begitu, karena begitu banyak hutan-hutan yang dulunya tidak kudapati semasa sekolah di kota duri tercinta J. Sempat terlintas dalam hati, “Ya Allah, Berharap kuliah dikota besar tapi malah dapat dihutan. Gak ada kemajuan”. Kutapaki langkahku satu persatu dari gerbang depan menuju mesjid terbesar dikampus. Ini hari pertama kesini setelah dinyatakan lulus PBUD (Penelusuran Bibit Unggul Daerah). Selepas sholat dzuhur, kuselonjorkan kaki yang terasa lelah diteras bawah tangga mesjid itu dan tidak berapa lama ada sosok yang menghampiriku kala itu. Ia menyalami semua orang yang ada disitu dengan “sok” akrab, karena aku yang tak mengenalnya juga mendapat jatah salamnya.

Perbincangan dan perkenalan dimulai. Kebetulan sepatunya yang tidak terlalu bagus tapi terawat dengan semir itu terletak dekat dengan sepatuku. “Biarpun sepatu ini butut, tapi harus rapi dan kinclong. Karena kita ini muslim negerawan” ujarnya setelah berkenalan dengan ku sembari memakainya. Ada kekuatan tekad dan semangat dari kata-katanya. Orang yang kukira dosen atau pegawai kampus itu, ternyata juga mahasiswa. Ia adalah Mahasiswa Fakultas Perikanan yang belum juga lulus dengan alasan pilihan hidup, bukan karena tidak cerdas. Kata-kata “Muslim Negarawan” itu yang membuatku bertanya-tanya, “emang seperti apa itu sosok muslim negarawan?”.

Setelah selesai mengenakan sepatu, ku bergegas ke “patas”. Tempat tenda-tenda biru berjualan berjejer. Ramai sekali mahasiswanya yang membeli disini. Patas ini terletak antara ujung Kampus Fisipol dan FKIP. Tidak berapa lama duduk-duduk disini, karena tujuanku sebenarnya adalah Ingin melihat semegah apa Fakultasku dihujung sana. Sayup-sayup terdengar suara orang yang berteriak menyuarakan, “Susu sari kedelai, Yang hangat yang dingin seribu” lalu disambungnya dengan kata, “Jangan lupa Pilih nomer 4”. Kata-kata itu terus diulanginya sambil membawa megaphone, dengan sepeda yang sudah dihias. Unik dan kreaif. “Ada apa ini?” tanyaku sama salah satu pembeli dipatas itu. Dia bilang, “Oh sekarang lagi ada Kampanye PEMIRA, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)”. Terus dia dengan semangat melanjutkan, “Kalau yang itu dari anak KAMMI, calonnya Mantan Gubernur Fisipol dan Mantan Gubernur FKIP”. Subhanallah, luar biasa kampus ini. Punya Presiden dan Wakil Presiden. Punya Gubernur dan Wakil Gubernur juga. Aku jadi bertanya iseng, “Bupati ada juga gak bg?”. “Ada dong, disini ada Bupati Mahasiswa. Jangankan itu, disini juga ada DPR-nya mahasiswa. Namanya Badan Legislatif Mahasiswa (BLM)”, dengan sabar dia terus menjelaskan semua pertanyaanku. Ternyata dia adalah Mahasiswa Fakultas Pertanian, Seniorku kelak. Kebetulan beliau anak HMI yang saat itu menjagokan calon dari Faperika, seingatku calonnya adalah Ketua HMI Cabang Pekanbaru saat itu. Jadilah kami akrab dan akhirnya dia yang mengantarkanku keliling kampus Fakultas Pertanian.

Sebelum perkuliahan resmi dimulai, seluruh mahasiswa PBUD diwajibkan mengikuti Matrikulasi selama kurang lebih 2 bulan. Makanya, sebelum kegiatan ini aku mencari kost-kostan. Alhamdulillah, dapat kos yang murah di daerah mayar sakti, nama pondokannya “ILLAHIA” tapi teman-teman sepondokan lebih suka menyebutnya, pondokan “LA-TAHZAN”. Entah bagaimana awalnya, yang jelas yang masuk ke kost itu harus menguatkan hati dan gak bersedih kalau tiap hari bakalan dapat wejangan dari pemilik kost yang kebetulan tinggal disebelah kost. Sebab bila lampu balik karena kami hidupkan air atau nutup pintu terlalu kuat sudah pasti kami akan dikejar sampai kamar dan di introgasi siapa yang ngebanting pintu tadi atau siapa yang ngidupin air. Jadi kalau sudah begitu, kata yang paling tepat adalah LA-TAHZAN. Teman-teman di kost ini juga yang nantinya turut menjebakku. Karena mereka semua anak ROHIS, bahkan ada yang Ketua Umum ROHIS Se-Universitas.

Dikegiatan Matrikulasi ini, kutemui teman-teman Se-Program Prodi yang juga lulus PBUD. Di akhir matrikulasi, salah satu teman se-prodiku inilah yang memaksa aku mengikuti sebuah kegiatan selama 4 hari di LPM. Nama kegiatannya Dauroh Marhalah 1 (Satu) atau Pelatihan Jenjang Satu. Padahal rencananya aku ingin langsung pulang ke kotaku tercinta, tapi dia dengan gigih memaksa ikut acara itu. Bahkan biaya registrasinya dia yang bayar. Akhirnya aku pasrah. Diawal acara, kujalani tanpa semangat tentunya hingga sosok yang kuceritakan diawal tadi muncul sebagai Pemateri. Saat moderator memperkenalkan beliau, barulah kutahu kalau beliau saat itu sebagai Ketua Umum KAMMI Daerah Riau. Kata-katanya berapi. Tidak hanya berapi-api, tetapi juga berair-air. Karena gak jarang juga air ludahnya muncrat saking semangatnya. Setelah itu, aku jadi senang mengikuti acaranya. Apalagi setelah beliau, yang ngisi acaranya adalah Presiden Mahasiswa (Jarang-jarangkan lihat Presiden langsung..hihihi..itulah yang kufikirkan dulu). Yang membuatku lebih senang lagi ternyata, diacara itu berkumpul Pejabat-pejabat besar di kampus. Ada Gubernur, Ketua BLM, Beberapa Bupati, dll. Wah.. semakin semangat tentunya. Kami di minta menghafal surat Ash-Saff dan inilah surat panjang pertama yang berhasil kuhafal dan alhamdulillah aku lulus acara itu dan dilantik sebagai kader AB 1 KAMMI (Anggota Biasa 1, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Saat itu aku ingin sekali bisa ikut DM 2 dan DM 3, ini impianku dulu  ^__^

***

Di awal kuliah aku ketemu lagi dengan Senior yang dahulu menghantarku keliling kampus ini, setelah cerita panjang lebar, akhirnya dia mengajakku ikut LK 1 HMI (Latihan Kepemimpinan 1 Himpunan Mahasiswa Islam) dan aku mengiyakan karena kufikir organisasi ini sama dengan KAMMI. Dan pada saat kegiatan berlangsung, ternyata aku mendadak tidak bisa mengikutinya. Entah kenapa sebab yang merintangiku saat itu. Merasa tidak enak juga dengan orang yang mengajak tapi apa boleh buat. Setelah itu datang lagi para senior yang ngajak ikut MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam). Dan terus terang aku tertarik, dan ikut mendaftar bersama teman-temanku. Test interview kulalui dengan mudah, hingga saat pengenalan medan lagi-lagi aku tak bisa ikut, dengan alasan yang juga kulupa saat itu. Kira-kira seminggu berselang dapat sms dari anak KAMMI untuk kumpul pembentukan Panitia DM 1 dan aku ditunjuk jadi Sekretaris Panitia saat itu. Pernah satu kali, ketua panitia tidak hadir dan akulah yang disuruh mimpin rapat. Alamakkkk.. keringat dingin mengucur deras, bingung, semua rasa bercampur. Setelah acara DM selesai dengan sukses. Aku di sms lagi, kalau aku dimasukkan ke anggota Kaderisasi KAMMI wilayah Exacta. Males juga sih ikut dikepengurusan, karena tujuanku kesini adalah kuliah. Tapi, Koordinator Kaderisasiku saat itu begitu sabar dan semangat meng-sms dan menelphone ku untuk datang rapat. Acaranya rapat dan rapat saja, fikirku. Bosan. Tapi, sms dari sang koordinator terus datang sampe aku kehabisan alasan untuk menolak tidak hadir. Hingga dipertengahan kepengurusan, dia yang justru jarang hadir rapat dan memintaku memimpin rapat. Disinilah awalku mengerti dan mahir semuanya, hingga aku kelak jadi ahli rapat (bahasa kami dulu, kuro-kuro atau kuliah syuro-kuliah syuro…hehe). Hingga suatu saat koordinatorku itu diamanahi sebagai Wakil Gubernur di fakultasnya, dan aku yang paling junior di bidang kaderisasi itu malah menjadi Koordinator secara tidak resmi. Padahal dibidang itu rata-rata yang laki-lakinya angkatan 2005 dan yang perempuannya angkatan 2004 dan ada juga yang 2005. Cuma aku yang paling junior dikepengurusan (temanku yang dulu maksa aku ikut DM, ternyata tidak lulus, kabarnya belum hafal surat yang diwajibkan. Jadi dia enggak masuk dikepengurusan. Dan akhirnya dia lepas terus gabung dengan HTI). Dan seterusnya aku ditunjuk menjadi koordinator resmi di bidang itu.

Ini yang ingin kuceritakan. Dahulu, disaat Ketua Umumnya sosok yang kuceritakan diawal tadi. KAMMI begitu luarr biasa pengaruh dan mobilitasnya. Semua Presiden/Wakil Presiden serta Gubernur/Wakil Gubernur itu adalah kader KAMMI. Bahkan sepertinya, syarat calon dari ikhwah itu harus anak KAMMI. Semua permasalahan siyasi di Universitas serasa di kelola oleh KAMMI. Kami yang anak KAMMI merasa bangga tentunya, apalagi bisa dibilang semua orang cerdas dan berpengaruh disemua kampus ada di KAMMI. Seperti sebuah lagu, Semuanya ada disini. Masih ingat saat acara berbuka puasa dimusholla balam sakti, Ketua Umum KAMMI daerah Riau itu pernah berujar begini, “KAMMI adalah benteng terakhir dakwah dikampus. Kita adalah perisai. Kita memang dilahirkan dari ROHIS tapi kita adalah anak yang melindungi ibu”. Begitu katanya sambil berteriak-teriak membenamkan kata-katanya pada kami semua para pengurus. Makanya, kalau dahulu setiap ada Pemira ditingkat Universitas atau Fakultas, selalu saja orang selalu menyebutkan, “dari KAMMI siapa yang maju?” bukan,”dari ROHIS siapa yang maju?” bukan itu. Beda-kan dengan sekarang? Kalau dahulu, masalah Pemira itu masalah pertarungan Lembaga Eksternal kampus seperti KAMMI, HMI, GMKI, dll. Karena bagi kami anak-anak ROHIS itu lemot dan agak lama nyambungnya, berbeda dengan anak KAMMI yang emang luarr biasa J sampai-sampai aku di fakultas enggan dan malas mengikuti ROHIS ditingkat fakultas. Makanya anak ROHIS itu yah tugasnya ikut dauroh, rihlah dan ngajih. Aku diminta untuk ikut dikepengurusan ROHIS Fakultas, tapi rasanya gak gue banget deh..hehe..sampai-sampai pembesar dan pengkurus ROHIS dikampusku berang juga akhirnya, dan banyak memberi wejangan bahwa seorang kader yang baik itu harus dari ROHIS dulu baru nanti masuk KAMMI.

Pernah saat KAMMI membuat kegiatan DM 1 dan kebetulan masih aku yang jadi Koordinator Kaderisasinyan (DM 1 itu bagian dari program kerja Bidang Kaderisasi). Saat kuliah, aku ditelphon oleh Ketua KAMMI Daerah. Beliau nanya dengan nada keras begini, “Akhi, siapa yang buat famplet DM?”. Aku menjawab dengan gusar, “saya yang buat bang”. “Oh.. Antum yang buat, sekarang juga antum cabut semua fampletnya!!”. Aku jawab,” cabut fampletnya? Serius bang? Banyak lho yang kami tempel, disemua fakultas.” Dengan singkat dia jawab, “Iya, lakukan segera!” dengan lemas kujawab “Iya bg..langsung saya cabut sekarang juga” (tanpa kutahu alasannya). Setelah itu aku masuk kuliah lagi dan tidak langsung mengerjakan titah tadi, tapi gak berapa menit beliau nelphon lagi. Alah mak… apa lagi ini, kemudian dengan renyah beliau bilang ke aku kalau tidak usah dicabut lagi, dia tertawa dan meminta aku untuk melihat famplet yang kubuat. Coba lihat di famplet itu, famplet KAMMI harus elegan, harus tegas, harus tampak dewasa. Gak boleh ada gambar anak kecilnya apalagi gambar kartoon. KAMMI bukanlah lembaga seperti ROHIS yang fampletnya masih suka pakai kartoon, bunga-bunga atau warna-warna pink. KAMMI itu adalah..bla..bla..I Love U, KAMMI. (Sempat juga terfikir, kalau singkatan KAMMI itu bukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia tetapi lebih cocok dengan Kesatuan Alumni Mahasiswa Muslim Indonesia..hehe..Peace yah anak KAMMI ^_^)

Yang paling berkesan lagi adalah saat aku dan Ketua KAMMI Daerah ingin menghadiri acara persiapan DM wilayah kota. Kegiatan ini dirancang karena selama beberapa kali tingkat partisipasi mahasiswa kota sangat minim bila DM dilakukan dikampus wilayah desa. Saat itu kami belum punya motor hingga harus nge-rental motor ojek seharga Rp. 15.000 setengah hari. Sampai digerbang belakang kampus, motor mendadak mati. Ternyata minyak habis dan mau tak mau harus mendorong. Beliau bilang, “Antum naik saja akhi, biar ana yang dorong!”. Tentu saja aku gak mau, walau dia sedikit hampir maksa. Hingga kami mendorong ke SPBU terdekat dan ternyata gak ada. Nyari cetengan jauhnya minta ampun. Bajuku dan bajunya basah kuyup karena keringat. Sangat gerah dan panas. Acaranya rencana dimulai 16.30 Wib. Sementara saat itu sudah sekitar jam 16.15-an. Begitu minyak didapat, kamipun melaju. Tidak berapa jauh, hujan turun dengan deras. Aku usul untuk berteduh. Tapi karena jam sudah menunjukkan waktu acara dimulai, ia minta untuk lanjutkan saja. “Ini masih hujan air akhi, belum hujan batu. Terus terobos aja, kasihan teman-teman disana yang menunggu kita” katanya sedikit menggigil karena dingin. Akhirnya hujan yang lebat itu kami terobos dan sampai dilokasi jam 17-an lewat dengan kondisi tak satupun bagian pakaian kami yang selamat. Semuanya basah dan syukurnya teman-teman diwiliyah kota itu masih diruangan karena juga gak bisa pulang. Terkepung hujan. Begitu salaman dan cipika-cipiki, kami minta untuk rapat tetap dilaksanakan. Jadilah, kami berdua basah-basah duduk didepan mengarahkan dan memimpin acara. Begitulah, hingga akhir kepengurusan aku menjadi orang yang KAMMI banget ^__^

Ceritaku di KAMMI berakhir teragis. Di saat berakhir kepengurusan, Ketua Komisariat terpilih sudah memintaku untuk kembali bergabung dikepengurusan. Tetapi, semua itu harus di rekomendasi dari fakultas. Jadi kalau pengambil keputusannya difakultas anak KAMMI, maka biasanya ramai-lah kader di fakultas itu yang direkomendasi ke kepengurusan KAMMI dan kalau pengambil kebijakannya bukan anak “KAMMI banget” maka hanya kader-kader “sisa” yang proyeksinya ke-siyasi-lah yang direkom ke KAMMI (Mungkin ini juga efek, sehingga KAMMI menjadi seperti yang ingin kuceritakan setelah ini). Finally, aku tidak lagi bergabung di kepengurusan KAMMI. Hingga Ketua KAMMI Daerah-nya bertukar. Aku masih berkutat di ROHIS fakultas dengan amanah Anggota Kaderisasi. Pernah suatu kali Ketua KAMMI Daerah yang baru meminta untuk aku menjadi Koordinator Kaderisasi lagi di KAMMI tapi “Big Boss” difakultasku tidak berkenan. Dengan mengatakan padaku, “Kalau KAMMI itu banyak yang memikirkannya, KAMMI itu milik banyak Fakultas. Sedangkan Fakultas kita, hanya kitalah yang memperjuangkannya.” Bahkan pernah saat ada pengumuman DM II, dan aku meminta untuk ikut. Mereka difakultas bilang, “Ngapain ikut itu, nanti juga bisa. Entar kalau sudah ikut DM II, harus jadi pengurus KAMMI, entar siapa yang ngurus Fakultas kita. Rumah kita ini”. Padahal ini harapanku dulu L hingga akhirnya aku di amanahi Ketua Umum ROHIS di fakultas dan terus menjadi Ketua Dewan Pembina (DP) selama dua tahun. Saat itu, ke-KAMMI-an ku sudah luntur, banyak kader-kader fakultasku yang diminta untuk direkom ke KAMMI, malah aku yang kini tidak berkenan merekomnya. Sampai saat aku diamanahi Ketua Kaderisasi ROHIS se-Universitas, jiwa KAMMI ku benar-benar sudah hilang. Saat aku bisa memutuskan sendiri untuk ikut DM II atau tidak, saat aku bisa memutuskan kader-kader di Fakultasku boleh atau tidak ikut DM II, justru aku yang enggan untuk mengikutinya. Bahkan Ketua KAMMI Daerah pernah suatu kali minta untuk aku ikut DM II diluar Riau, di JAWA. Tapi, jiwaku bukan di KAMMI lagi. Separuh jiwaku pergi, begitu kata anang J Selanjutnya aku di amanahi jadi Ketua Umum Rohis Se-Universitas. jadilah aku sebagai AB 1 permanen. Terkadang aku bertanya sama teman-teman KAMMI, masih terdaftar enggak yah aku di KAMMI.. Hehe..

KAMMI dahulu berbeda dengan KAMMI yang sekarang. Di akhir-akhir aku dikampus, geliat KAMMI kurang terdengar lagi. Bisa dibilang tidak berperan lagi seperti dahulu. KAMMI sudah banyak main diluar kampus. Sehingga kalau ada pemilihan Presiden atau Gubernur Mahasiswa, yang berperan anak ROHIS. Bahkan saat aku Ketua Umum ROHIS Se-Universitas, aku lah yang me-lounching Calon Presiden/Wakil Presiden Mahasiswa. Makanya, kalau sekarang ada bentrok atau kerusuhan masalah Pemira. Pasti yang dituduh atau dibombardir adalah anak-anak ROHIS. Karena kini, anak-anak ROHIS yang berjibaku dan berhadapan langsung dengan lembaga Eksternal seperti HMI, GMKI, GMNI, dll. Perisai ROHIS-nya kini telah menghilang. ROHIS harus melindungi dirinya sendiri dari fitnah dan permainan tak cantik rival-rivalnya. Selain itu, ROHIS juga dituntut untuk melakukan rekrutmen. Maka wajar saja bila dari tahun ke tahun, terus terjadi penurunan dari sisi kualitas. Karena segmentasi rekrutmennya sudah tidak tertata dan terbagi dengan jelas. Keterlibatan ROHIS secara frontal berhadapan dengan lembaga eksternal itu, lambat laun akan mempersulit kerja-kerja ROHIS itu sendiri dalam rekrutmen. Bahkan ancaman pembekuan dan pembubaran ROHIS adalah sesuatu yang wajar adanya.

Itu ceritaku, kini Aku bukan anak KAMMI dan ROHIS lagi. Sebab, aku sudah keluar dari kampus. Saat itu aku dikampus kurang dari 5 tahun dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sangat memuaskan lho ^____^ (Tuhkan, ada jugakan Ketua Umum ROHIS Se-Universitas yang tamatnya cepat dan punya nilai akademis yang tidak sekedar memuaskan tapi sangat memuaskan..xixixi..narsis). Gak selamanya seorang organisatoris itu harus memaksimalkan kuliahnya sampai 7 tahun lebih. Semuanya ada pilihan. Indah pada waktunya itu pasti tetapi keindahan itu hadir tergantung dari usaha kita (Hmm.. Pernah ada yang cerita, kalau dia bisa sebenarnya wisuda tapi segan dengan yang lain.. hehe.. Lucu yah? Kuliah itukah amanah jugakan? Gak kasihan sama orang tua?). Kita harus berfikir jauh kedepan, melewati ruang-ruang yang tak terfikirkan oleh orang lain. Seperti cintaku dengan dunia kampus kala itu. Tetapi tetap saja, Mencintai bukan harus disitu selamanya. Terkadang semakin banyak orang-orang tua dikampus, akan membuat kader-kader yang baru manja dan lambat pertumbuhan kualitasnya. Karena ia akan terus berpangku tangan dengan yang tua-tua. Maka pernah suatu ketika kubilang, dedaunan yang tua harus rela gugur untuk memberi ruang daun muda tumbuh. Daun tua gugur bukan berarti bermasalah tetapi untuk bermanfaat didaerah baru, dedaunan itu sebagai pupuk ditanah nantinya. Terkadang kita yang tua merasa kalau tidak ada kita maka semuanya akan terhenti, padahal itu hanya perasaan kita saja. Perasaan khawatir kita yang sudah merasa memiliki kampus itu. Gak percaya? Aku telah membuktikannya.

Hari ini, aku sudah akan memulai lagi langkah kaki-ku yang kedua dikampus itu. Walau tak seindah banyak cerita dan pengalaman orang, tapi kisah hidupku adalah episode terindah bagiku, terindah dalam memory sebait perjuanganku. Selanjutnya, aku ingin membuat warna baru dalam hidupku. Warna yang berbeda dengan warna yang pernah kurangkai dahulu. Berbeda pada warna posisi dan warna pijakan dengan yang dahulu. Esok, dua tahun lagi akan kuceritakan lagi bagaimana petualangan perjuanganku dikampus itu. Setelah kudapati gelar kedua-ku disana. Semoga ada cukup umur. Aamiin…

*Maaf bila banyak orang yang terlibat dalam ceritaku dan Terimakasih kepada semua pihak yang telah menempaku menjadi sosok yang lebih baik, semoga walau tidak bersama lagi didalam perjalanan ini, tetapi harapanku kita bisa bersama dipenghujung tujuannya ^___^

Kota Berkuah, 12 Juli 2012

Oleh: Hudhafah As-Sahmi

 

Nb. Jangan marah lagi yah dengan tulisan ini ^___^

Woi.. Keluar dari PKS yuk!!

Standar

Ternyata semua Partai Politik (Parpol) di bumi pertiwi ini sama saja, mereka semua sama di isi oleh manusia, jamaah manusia bukan malaikat. Tidak ada yang berbeda dengan itu. Yang membedakan hanya kualitas, kiprah dan kekuatan iman manusia didalamnya. Dunia politik selalu saja menjanjikan banyak hal yang menggiurkan. Dunia yang satu ini seperti tidak pernah sepi dari pemberitaan. Satu demi satu tabirnya terus terkuak. Skandal video porno, tidur saat sidang atau korupsi merupakan sajian menu utamanya, tidak hanya dilegislatif tetapi juga dieksekutif. Terkadang letih melihat caruk-maruk negeri ini, seperti tak ada ujungnya.

Beberapa saat lalu di negeri para nabi, berhembus sosok yang memberikan angin segar dan berjuta harapan buat rakyatnya. Sosok itu adalah Presiden Mursi, Presiden  pertama mesir yang menang secara demokratis. Contoh presiden yang setiap gerak-geriknya membuat kita terperangah, kagum dan tentunya merindukan sosok pemimpin seperti itu. Bayangkan saja, Presiden Mursi tidak mau mengambil gajinya. Ia menyumbangkan gajinya untuk pembangunan negaranya, sementara Presiden kita malah sibuk meminta naik gaji. Ketika iring-iringan Presiden Mursi melewati jalan umum, tidak menimbulkan kemacetan dijalanan. Berbeda sekali dengan indonesia, jangankan seorang Presiden, pembantu presiden sekalipun acap kali membuat pengguna jalan gerah. Baru ingat kalau ada 3 (tiga) orang pembantu presiden itu ada yang berasal dari PKS, ditambah lagi, kalau tidak salah ada juga beberapa Gubernur, Walikota atau Bupati dari partai dakwah ini yang sudah dikuasai. Tapi… Sedih dan mulai berembun rasanya hati ini. Kenapa kesederhanaannya tidak tampak atau diberitakan? Apakah Harapan itu memang benar masih ada?

Sempat berfikir untuk pergi dan teriak kesemua orang, “Woi… Keluar dari PKS yuk!!” untuk apa kita disini? Ini partai udah enggak benar. Para kadernya sudah jumawa dengan kekuasaan yang diberi. Coba lihat betapa Heroiknya Menteri BUMN, Dahlan Iskan dengan sepatu sederhananya, Naik ojek buat rapat kabinet, atau coba kita lihat Jokowi yang luar biasa berhasil memimpin Solo. Hampir semua masyarakat solo bersedih saat Jokowi berencana meninggalkan solo. Ia begitu dicintai masyarakatnya. Sekali lagi, dimana para kader-kader PKS? Apa memang enggak ada di PKS yang seperti Presiden Mursi, atau kalaupun kejauhan minimal seperti Dahlan Iskan dan Jokowi-lah. Ada Gak?? Ternyata memang TIDAK ADA. Maksudnya tidak hanya ada satu atau dua. Tetapi di PKS masih ada banyak orang-orang seperti mereka, di PKS banyak yang sederhana dan luar biasa tapi PKS bukanlah partai yang memiliki Media Electronic, sehingga tentu ini bukanlah berita menarik makanya tidak ada yang mau meng-ekspose, sehingga kita tidak pernah tahu.

Salah satu kader terbaik PKS adalah Ustd. Hidayat Nur Wahid. Banyak cerita tentang kiprah beliau. Ia adalah sosok negarawan yang memang layak menjadi bagian untuk memimpin Negeri Indonesia Raya ini. Kesederhanaan beliau bukan hanya ditampakkan sebagai pencitraan saat Pilkada saja, tapi sudah jauh dari dahulu beliau lakukan. Pernah Sekitar Tahun 2007, Pak Dayat, panggilan akrab Ust. Hidayat Nur Wahid menjadi salah satu narasumber di sebuah kampus negri di Jawa Tengah. Kapasitas beliau saat itu adalah sebagai ketua MPR. Dialog yang berlangsung hangat tiba-tiba senyap dan terhenti ketika ada bunya Handphone.Tit..tit..tit..tit, seketika hadirin dan para wartawan terhenyak dan para jurnalis segera mengambil gambar dan mendekat ke arah sumber suara yang ternyata adalah bunyi HP dari Pak Dayat. Seorang Ketua MPR, dengan Hand Phone sangat sederhana dan terkesan Jadul.

Dan Cerita tentang Hanphone Pak Dayat ini pun berlanjut, seperti diceritakan Ust. Cahyadi Takariawan “Sangat banyak kisah kehidupan keseharian pak Hidayat. Salah satunya saya dapatkan dari seorang teman yang pernah menjadi asisten beliau saat menjadi Ketua MPR. Teman ini bercerita, suatu ketika diminta pak Hidayat membelikan lem alteco. Tanpa bertanya kegunaan lem tersebut, sang asisten langsung pergi membelikan. Setelah lem diserahkan ke pak Hidayat, sang asisten penasaran, digunakan untuk apa lem tersebut. Maka diam-diam ia mengintip ke ruang kerja pak Hidayat.

Betapa terkejut sang asisten menyaksikan pak Hidayat menggunakan lem tersebut untuk memperbaiki casing HP beliau yang retak karena terjatuh. Ia tidak menyangka, seorang politisi senior, seorang Ketua MPR, masih mengurus casing HP yang pecah. Bukan membeli casing baru, atau membeli HP baru, namun membeli lem untuk memperbaiki casing yang pecah.  Kejadian seperti ini tentu tidak menarik untuk diberitakan dimedia.

Coba kita bertanya kepada orang yang melihat langsung Pak Hidayat di tempat-tempat umum. Sering para penumpang pesawat merasa terkejut ketika melihat Pak Hidayat naik pesawat yang sama di kelas ekonomi. Pak Hidayat juga menolak menggunakan mobil Volvo sebagai kendaraan dinas dari negara. Beliau memilih mengendarai mobil pribadinya sendiri, Toyota Kijang tahun 2002.Pak Hidayat adalah pejabat tinggi yang mau tidur di lantai beralas tikar. Beliau melakukannya setiap kali mengunjungi ibunda di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Klaten Jawa Tengah. ”Mas Nur tidak mau tidur di hotel”, kata Septi Swastani Setyaningsih adik bungsu Pak Hidayat yang memanggil kakaknya Mas Nur itu. Pak Hidayat memilih tidur di rumah sederhana seluas 15 m x 10 m yang ditempati Nyonya Siti Rahayu, 70 tahun, ibunda beliau. Tidak ada pernik kemewahan di dalamnya. Ruang tamu hanya diisi satu meja kursi. Di ruang keluarga hanya ada televisi 14 inchi. Dan kejadian seperti tentu bukan berita yang menarik untuk dikemas dimedia.

Mari kita flashback lagi ketika gempa mengguncang jogya dan menewaskan ribuan jiwa. Ada kisah yang yang tentunya tidak terlupakan disana. Siang yang terik itu tak mengurangi antusiasme warga Pleret Bantul berkumpul di lapangan Pleret. Apa yang membuat mereka begitu antusias mendatangi lapangan? Hari itu, ada tamu istimewa yang hadir ke desa mereka di Pleret Bantul. Tamu itu adalah Hidayat Nur Wahid, yang saat itu menjabat sebagai Ketua MPR. Pak Hidayat akan berkunjung ke desa yang terkena dampak gempa sangat parah di Jogya sekaligus peletakan batu pertama pembangunan rumah bantuan dari donatur. Masyarakat begitu merindukan kehadiran pejabat negara yang memang juga berasal dari daerah yang dekat dengan lokasi mereka. Menurut berita, Keluarga beliau yang di Klaten juga terkena musibah gempa.

Siang makin terik, masyarakat tak juga melihat ada tanda-tanda seorang pejabat negara datang. Tiba-tiba saja, bunyi mikrophone dari tengah lapangan berbunyi.

“Yang Terhormat, Ketua MPR, Bapak Hidayat Nur Wahid selamat datang di desa kami.”

Suara pembawa acara sudah bergema sampai terdengat sekitar 25 m dari tempat acara yang berada di tengah lapangan.

“Loh, sudah datang, toh. Kapan datangnya?”

“Sudah lima belas menit lalu, Pak” yang lain menimpali pertanyaan seorang bapak tua yang dari tadi menunggu kedatangan Ketua MPR itu.

“Loh, biasanya ada sirine dan banyak polisi toh. Lah, ini seperti tidak ada apa-apa.”

Bapak tua itu heran karena biasanya selalu ada kehebohan kendaraan pengawal dan rombongan pejabat lainnya yang mengiringi. Ternyata Pak Hidayat menaiki mobil biasa tanpa pengawalan. Bahkan Camat Pleret sampai tergopoh-gopoh mengejar Pak Hidayat karena keduluan ketua MPR datangnya.

Acara diadakan di tengah lapangan. Para pejabat disediakan kursi empuk sementara warga hanya duduk lesehan beralaskan tikar. Ketika giliran Pak Hidayat memberi sambutan, beliau kemudian turun dari kursinya dan duduk lesehan.

“Maaf bapak Ibu, bukannya saya tidak menghargai, supaya kita lebih dekat. Saya duduk nggih.” Begitulah perkataan yang bisa ditangkap dari obrolan beliau dengan warga dalam bahasa jawa yang sangat halus. Akhirnya pejabat dan tokoh masyarakat yang mendampingiUstd Hidayat ikut lesehan. Jadilah kursi empuk yang disediakan panitia jadi kosong melompong.

Subhanallah, tentu kita kagum dengan sikap sederhana beliau. Datang tidak mau merepotkan dan ketika diberi fasilitas beliau memilih fasilitas yang sama dengan warga. Lagi-lagi, kejadian seperti ini tidak pernah masuk pemberitaan media massa. Kehidupan beliau sangat sepi dari publisitas. Beliau melakukan segala aktivitas secara alami, tanpa kemasan branding, atau menyewa konsultan untuk memperbaiki penampilan atau membayar media planner untuk mengatur tampilan beliau di media. Semua berjalan sangat alami, tanpa sentuhan entertainment. Pemimpin seperti inilah yang sebenarnya dirindukan oleh negara ini. Pernah di Konsolidasi Kader Se-Jakarta Utara, Pak Hidayat pernah berujar terkait pencalonannya sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Banyak para pengamat dan tokoh di negara ini yang mengatakan kenapa saya bersedia menerima amanah ini dari Partai, inikan namanya turun gunung. Dengan santai Pak Hidayat menjawab, “Saya tidak sama sekali turun gunung karena selama ini saya tidak merasa pernah naik gunung”. Sungguh, sangat beruntung bila warga jakarta mendapat sentuhan kesederhanaan pemimpin seperti ini. Ingin rasanya berteriak sekali, Woi.. Ayuk keluarrrr.. kita usahakan Pak Hidayat benar-benar jadi Gubernur DKI Jakarta!! Allahuakbar 3 x !!

Oleh: Hudhafah As-Sahmi

[Dari berbagai sumber]

Bahasa Jiwa

Standar

 Biarkan cinta berhenti di titik ketaatan

Meloncati rasa suka dan tidak suka

Melampaui batas cinta dan benci

Karena hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi

Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat

Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas

Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita (Salim A Fillah)…

Semua yang ada berawal dari cinta. Ada dan bertahannya kita juga karena kekuatan cinta. Sentuhan cinta menjadikan orang biasa menjadi luar biasa. Banyak goresan kata-kata indah terlahir karena cinta. Hmm… Bila berbicara tentang cinta, terkadang kita bisa senyam-senyum sendiri. Sebahagian orang merasa lima huruf ini ialah sesuatu yang tabu dan mereka terlihat pura-pura malu, Ada yang merasa biasa saja dan Banyak pula yang merasa sudah biasa. Cinta adalah suara yang tidak mengharapkan jawaban.

Cinta memang tidak perlu dibicarakan, karena cinta hadir dengan berjuta tindakan. Kata cinta memiliki uraian dan penjabaran seluas samudera dikehidupan. Tidak perlu membenci atau menghina orang yang dirundung cinta, karena rasa itu terkadang hadir tanpa dipinta. Orang yang merasakan cinta tidaklah lebih buruk dari orang yang tidak merasakannya. Don’t judge the book by the cover but don’t blame the book because the cover. Semuanya kembali lagi ke pribadi masing-masing. Banyak juga buku yang sampulnya bagus tapi kehilangan intinya, istilahnya isi bukunya kebanting dengan sampulnya. Tapi ada juga yang sampul dan isinya sama-sama bagusnya, ini adalah perpaduan yang luar biasa, karya cinta yang sempurna.

Perjalanan cinta teramat sangat panjang. Hari berganti hari, masa berlalu melahap waktu. Kemesraan tersimpul rapi dilayari rindu, menanti malam menjemput siang. Agar ikatan keikhlasan mengupas semua kisah yang tertera. Kutitipkan tanda cinta pada binar mata pemilik cahaya teduh, penyejuk jiwa penyiram embun kala terluka dan pemantik api untuk bangkit lagi.

Tak banyak kata yang bisa dipersembahkan. Cukup engkau ingat tatapan mata dan senyum itu, berjuta bahasa penuh makna bermuara disana. Keraguan terkadang tidak memerlukan sebuah jawaban, hanya butuh sedikit keyakinan dan kepercayaan untuk mengambil sebuah pilihan. Jangan mencintai sesuatu berlebihan dan benci berlebihan. Allah bukan tidak memberi apa yang kita suka, tapi Allah hanya ingin memberi apa yg kita perlu. Allah, mohon tetapkan hidayah di hati kami. Tuntun kami hingga mampu mencintai dan membenci sesuatu karena ridha-Mu semata. Aamiin…

“Kemarin hanya tinggal kenangan

Bersama peristiwa semalam

Adakah hari ini yang ku tempuh

Kan bersinar untuk hari esok…

 

[Kota Bertuah, 05 Juli 2012]

Gombalan Maut Si Abi ^___^

Standar

Abi : “mi,,, jangan terlalu lama duduk di kursi itu,,pindah sini dekat abi aja.”
Umi : “loh kenapa bi?”
Abi. : “takut dikerubung semut,, soalnya umi manis.” (ajiiB)
Abi : “mi,, orangtua umi dulu pengrajin bantal ya?”
Umi : “hah?! Bukan, kan abi tahu pensiunan PNS, kenapa bi? ”
Abi : “kok kalo deket umi rasanya nyamaaan.”

(Hajarrr blehh)

Abi. : “umi itu seperti sendok.”
Umi : “kenapa?”
Abi. : “karena umi terus mengaduk-aduk perasaan abi.” yiihaa
Umi : “abi, kalo ibu kamu & aku tenggelam barengan,,siapa yg kamu tolong?”
Abi. : “ya ibuku lah,, emang kamu yg lahirin aku?”
Umi. : “ih kamuuu.”
Abi. : “iyaa,,tapi habis selamatin ibuku,, aku akan tenggelam bersama kamu.”

Prikitiw

Abi. : “hmm,, maaf yaaa,,belakangan ini tangan abi agak kasar.”
Umi. : “ahh,, gpp kookk,, emangnya kenapa?”
Abi. : “soalnya tiap hari abi jadi kuli.”
Umi. : “yang bener bi,,dimanaaa? ”
Abi. : “di hati kamu say,,abi sedang buatin istana cinta buat kita berdua.”

(Hahahha, ampunnnn)

Abi. : “sayaaanngggg, ayahmu kamu astronot yaaa,,,.”
Umi. : “nggak kookk.”
Abi. : “kalo gitu pasti kakek kamu.”
Umi. : “nggak jugaa.”
Abi. : “trus yg astronot siapaa,,?”
Umi. : “nggak adaaa.”
Abi. : “tapi koq ada berjuta2 bintang di mata kamuuuu,,.”

(asyeek)

Abi. : “umii sayyaang..,, kamu capek yaaa,,.”
Umi. : “haaahhh, kok abi tahu,,. ”
Abi. : “soalnya yayang berlari2 terus di pikiran abi,,.”

(Prikitiuww)

Abi. : kenapa kita cuma bisa ngeliat pelangi setengah doang?
Umi. : ga tau, emang kenapa bi?
Abi. : Soalnya setengahnya ada di mata umi.

(yipi ye yipi yow)

Abi. : boleh pinjem flashdisknya yang?
Umi. : boleh, mau buat apa bi?
Abi. : buat transfer hatiku ke hatimu…

(wkwkwk)

Umi. : lho bi..mau kemana?
Abi. : cari yayang lagi…
Umi. : kok?
Abi. : lha satu aja bahagianya begini, apalagi dua…
Umi. : ……: *lempar tabung gas*

Ceritaku Untukmu

Standar

Kucoba gerakkan jemari dan mengukir dicanvas putih ini untuk menceritakan semua ini, untuk menguraikan semua cerita kita bersama, dan untuk memberitakan kepadamu tentang rasa ini, sebagai pengganti komunikasi yang engkau pinta…

Hadirmu diperjalananku telah menambah warna baru dalam keindahan warna-warni hidupku. Engkaulah sahabat yang sejatinya kucari disepanjang kisah yang ingin ku ukir. Tapi, kadang keraguan menelusup lembut hadir disini. Terasa begitu menghimpit dan menyesakkan, begitu banyak luka yang engkau suguhkan diruang harapku, hingga ku tak yakin akan hadirmu memang dipersiapkan untukku. Dikedalaman hatiku, ingin ku terus bertahan dan berbisik padamu bahwa biarlah semua ini mengalir seadanya. Biarlah ia mengalir dengan sendirinya, berlomba dan menyusuri semua ruang harap yang semoga ada ujungnya, dan semoga diujung sana menanti sebuah kebaikan untuk kita semua…

Sering kukesal terhadap diriku sendiri mengapa bersikap seperti ini. Saat-saat tertentu diriku seperti anak kecil yang mementingkan diri sendiri, ingin dimengerti namun di sisi lain sulit memahami bagaimana kondisimu saat itu. Diri ini bagai sosok kecil yang bersemanyam dalam bungkus kedewasaan. Kadang hati keruh, jauh dari kejernihan.

Mungkin pernah juga engkau melihat raut wajahku yang tampak kesal, sekuat tenaga kusembunyikan, namun tetap nampak dipermukaan.

Maaf kupinta darimu selalu…

Semoga kita berdua membawa setumpuk kesal dan kecewa itu dalam sholat. Dalam khusyu’ kita memohon kepada Dzat yang Menggenggam jiwa ini, Yang Maha Membolak-balikkan hati berharap semua rasa ini lebur, hilang dan pergi dari sucinya hati. Semoga kesal dan kecewa itu hilang sehabis shalat, lebur dalam doa. Hati lapang, pikiran jernih…

Dalam hati berucap, Maafkan aku, maaf telah berbuat dhalim kepadamu, Maafkan jika ego ini menguasai hati, maaf bila kata sayangku tak pandai kurangkai dengan baik hingga menorehkan luka. semoga Allah mengampuni dosaku dan juga dosamu. Tak sabar aku ingin menyampaikan kabar hatiku kepadamu, bahwa sungguh apapun yang engkau anggap tentangku, aku tetap hadirkan engkau semua dalam do’a dan harapku…

Anggaplah aku seperti bintang, yang memang tak selalu terlihat, tapi kita tahu dia selalu ada disana untuk kita.

Gumpalan awan di langit biru
Bercerita kisah kita
Saat deras hujan bagai air mata
Dan cerah mentari jadi wajah kita

Warna pelangi di langit biru
Hanya jadi saksi bisu
Saksi kisah perjalananku denganmu
Saat perbedaan jadi keindahan

Langit pun berbahasa
Dan bersenandung ria
Lantunkan lagu rindu antara engkau dan aku
Oh Sahabat…

Langit pun berbahasa
Tanda bersuka cita
Sambut esok dimana kita kan slalu bersama
Selamanya…

Dan dengarlah, dengarlah slalu
Itulah semua tentang kita,
cerita bahasa langit…

 

Ahad, 01 Juli 2012