Monthly Archives: April 2014

Untuk Sahabat Tentang Waktu…

Standar

Sekejap kurasakan dingin menjalari tengkukku. Cepat aku menoleh mencari tahu siapa yg ada di belakangku. Sesosok bayang kudapati berdiri beku di belakangku. “Siapa kamu?” tanyaku bernada curiga. “Namaku waktu,” jawabnya singkat. “Mau apa kau menghampiriku?” tanyaku lagi. “Tidak, aku tidak datang menghampirimu, kaulah yang berjalan melewatiku,” jelas Sang waktu. Aku terdiam sejenak merenungi perkataaannya. Namun, ketika kutersadar, ia sudah menghilang dari pandanganku.

Ah, sudahlah. Mungkin ia memang selalu pergi secepat kedatangannya di dalam hidupku. Ini bukan kali pertama ia datang mengganggu dalam wujudnya yang selalu berubah di tiap kedatangannya. Mungkin memang aku yang berjalan melewatinya tanpa ia bermaksud untuk menghampiriku. Lalu ia menghilang ketika kusudah mulai menjauh dalam jenuh.

Terkadang ketika ia muncul, ingin rasanya kuhentikan untuk sekedar bercakap-cakap meski hanya sekejap untuk mendapatkan jawab dari segala tanya yang menganga. Mengapa engkau memberiku usia? Mengapa semua harus beranjak tua bahkan tiada? Mengapa engkau dapat melesat cepat namun juga terkadang berjalan merangkak perlahan? Mengapa engkau selalu memberi batasan dalam memaknai bebas dan juga lepas? Mengapa engkau abadi sementara aku tidak? Ini sungguh tidak adil! Pada saatnya nanti, cepat atau lambat aku akan mati, sementara engkau abadi.

Waktu, seberapa kuatnya pun aku mencoba, aku tetap tidak dapat memahami untuk apa kau ada. Bahkan sekedar untuk mengartikanmu saja, terlampau sulit untuk kucerna. Kini aku tak tahu, apakah kuharus berkawan denganmu ataukah kau adalah lawan bagiku? Waktu, tak bisakah kau memutar ulang semua rasa senang dan riang dalam banyak perjumpaanku denganmu sebelum ini? Aku tak sempat lagi memunguti sisa-sisa kenangan itu satu per satu, apalagi menyusun semuanya menjadi buku. Karena tiap kali kutersadar dari ragu, engkau sudah berlalu.

Baiklah waktu, sekarang maukah kau katakan padaku bagaimana menghentikan orang-orang dan keadaan disekitarku agar semua tak perlu berubah? Biarlah aku sendiri saja yang berubah lalu mati, tapi jangan mereka. Aku tak mau melihat mereka berubah, meski mereka berubah menjadi lebih indah. Aku mau mereka semua tetap sama, seperti ketika di suatu saat mereka pernah membuatku bahagia. Tapi aku tahu, kau tak akan mau mengabulkan permintaanku. Aku yakin kau hanya akan diam dan membisu.

Sudahlah waktu, kusudahi saja semua jemu yang menggebu. Sudah terlampau banyak benih-benih penyesalan kian tumbuh dalam diriku karena ulahmu. Aku tahu aku masih akan melalui kembali perjumpaan-perjumpaan semu dengan dirimu. Tak hanya perjumpaan, tapi juga perpisahan. Aku tahu melalui perjumpaan demi perjumpaan denganmu, aku akan selalu berhasil untuk terus berjalan, meski tertatih perlahan.

Image

Sahabat…

Banyak waktu yang ku lalui untuk berpikir dan mencari jawaban-jawaban akan sebuah pertanyaan dan telah banyak hari-hari yang kita lalui seiring sang waktu yang tidak pernah menunggu, cobalah sekejap kita renungi tentang waktu-waktu yang kita pernah lalui sampai saat ini, telah berdiri di mana kah kita saat ini? Apa yang telah kita perbuat dalam hidup ini?

Teruslah kita berjalan melangkah ke depan, yakinkan dirimu bahwa kita dapat menjadi “seseorang” yang berarti meski hanya dalam hidup “seorang manusia”…

Aku tahu tidak akan pernah mudah untuk menjalaninya tapi yakinkan dirimu bahwa kita pasti bisa melaluinya dengan keringat dengan keyakinan, dengan perjuangan, dan dengan doa…

Kehidupan seharusnya menjadi sumber pengalaman supaya kita bisa hidup, tidak semata-mata supaya bisa bertahan hidup Karena setiap waktu yang berlalu adalah satu kesempatanmu terus belajar untuk hidup…

Memaknai Perpisahan

Standar

Dalam cerita hidup selalu menyuguhkan dua bagian. Dualisme yang niscaya. Ada kala sedih hingga hadirnya rasa senang. Ada waktunya merasa sakit, juga waktu saat merasa sangat sehat. Begitu pula pasangan untuk pertemuan, yaitu perpisahan.

Kemarin bertemu, esok sudah harus berpisah lagi. Tak ada kata bertemu untuk bersama selamanya. Meski jalan perpisahan itu punya banyak cara dan prosesnya. Beberapa bulan lalu bertemu, kita bersama-sama merintis sebuah perjalanan indah, berusaha mengembangbiakkan dan merawat semua potensi yang ada, merancang banyak kegiatan, merumuskan mimpi besar di masa depan sampai diskusi –diskusi kecil kita yang syarat makna tentunya. Setengah tahun perjalanan kepengurusan yang indah dengan kebersamaan yang penuh berkah dan cintaNya. Kebersamaan yang penuh dengan nuansa cinta dan kasih sayang.

Teringat saat mengadakan acara bersama, jalan-jalan ke tiga kabupaten, diskusi yang terkadang diselingi canda tawa, sampai makan-makan tiap ada yang walimahan atau dapat tambahan rizki. Murobbi saya berkata “pertemuan karena Allah, maka perpisahan pun pasti karena Allah”. Ya, Allah membiarkan kita bertemu untuk saling berbagi, saling melengkapi dan saling mengisi satu sama lain. Kini tiba waktunya, dari setiap diri kita untuk berada pada posisi yang berbeda. Meski tak lagi bersama, tapi semangat dan kenangan akan tetap menyatukan kita. Bersyukur sekali Allah menciptakan kenangan.

“Akhi, jangan bersedih untuk sebuah perpisahan. Karena setelah perpisahan itu, telah menunggu pertemuan lain yang lebih indah”, pesan guru spiritual saya saat hendak pergi. Ya, Allah pasti telah siapkan pertemuan-pertemuan lain yang lebih indah. Dalam perpisahan ada tiga pesan: kebersamaan, kenangan, dan pertemuan kembali…

Image

[Oleh: Hudhafah As-Sahmi]

Life Must Be Go on..

Standar

Senja itu indah. Ketika kita menatap di ufuk barat. Ketika matahari bergerak merayap meninggalkan jejak. Ketika ia memancarkan cahya tamaram berwarna merah jingga. Ketika selimut cinta-Nya menghiasi langit. Mungkin kita akan bertasbih memandangnya. Kita akan dapat merasakan seuntai nirwana yang menakjubkan. Yang membawa kesegaran jiwa.

Namun dibalik keindahannya, terkadang kita menyimpan suasana hati dan jiwa yang gundah. Ketika kita selesai ber-aktifitas. Mengakhiri pekerjaan yang seharian kita jalani. Penat, capek, dan lelah begitu manja bergelayut dipundak. Menyisakan setumpuk persoalan yang membuat pikiran kita terasa kusut. Mengubah suasana hati dan terasa kusut. Menciptakan suasana hati yang gelisah. Emosi yang kian tak stabil. Dan jiwa yang tidak tenang.

Lalu Ia bentangkan malam. Gelap. Ia sunggingkan senyum rembulan. Kedipan milyar bintang. Indah. Terlelap diperaduan. Dan semua akan berjalan seperti apa adanya…

[Hudhafah As-Sahmi, Dibuat pada 21 April 2006]

Mudah Mendapatkan, Susah Menjaga

Standar

Mempertahankan dan menjaga apa yang sudah kita miliki nggak semudah ketika kita berusaha untuk mendapatkannya. Yah, jauh lebih sulit “Menjaga” daripada “Mendapatkan”. Saat kita menginginkan sesuatu, awalnya kita berusaha sekuat tenaga agar bisa mendapatkannya. Perlu peluh keringat, melakukan segala daya dan upaya, menyusun strategi jitu, terus dan akan terus melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang menjadi harapan. Tapi ketika kita sudah memilikinya, terkadang kita mulai lupa, acuh bahkan seolah tak peduli dengan apa yang sudah kita miliki. Terkadang kita lupa bahwa ia begitu sulit untuk kita dapatkan dahulunya. Terkadang kita acuh sebab bisa jadi sudah banyak hal lainnya yang sudah kita dapatkan. Sehingga kita melupakan apa yang sudah kita dapatkan dahulu.

Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersekutukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Q.S. Al-Anfal: 63]

Mendengar surat cinta-Nya itu, mengingatkan masa-masa indah saat awal-awal bertemu dengan banyak sahabat, berjuang dalam cita besar, berjibaku dalam mimpi dikehidupan langit, memperbanyak saudara-saudari untuk berhimpun disatu barisan, dan belajar tentang pahit getir kehidupan, sungguh luar biasa. Mengingat kelu dan canggungnya saat pertama kalinya memanggil diri dengan sebutan ‘ana’, dan istilah-istilah lainnya yang biasa saja sih tapi punya effect yang luar biasa. Lucu. Tapi begitu indah, dan akan menjadikan hari-hari selalu biru. Jalinan suasana akrab, saling mengingatkan, berlomba-lomba dan ritual cipika-cipiki.. (hehehe.. ^_^ ). Semua itu bukan terbangun semata keinginan kita tapi Ia-lah yang menyatukannya. Bukan jalinan yang dibuat-buat atau berpura sehingga hambar dan kering makna, tapi itulah berkah langit. …niscaya kamu tidak dapat mempersekutukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka…

Waktu berlalu dan tahun berganti, saudara dan sahabat kian bertambah. Sibuk semakin menumpuk. Banyak yang sudah terpisah jarak. Berbeda jalan pandang. Tetapi hidup mesti terus berlanjut dan kedepan yang masih disana mesti selalu ingat: Keep everything that you already have, treat it as well as possible…

Rasulullah mengatakan, ”Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik oleh kedudukan mereka di sisi Allah.”

Para sahabat lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami bisa mencintai mereka.”

Rasulullah saw. pun bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan karunia dari Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab (kekeluargaan) dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama. Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika banyak manusia merasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih.”

Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. Yunus: 62).

Image

Manusia terbaik adalah yang selalu berusaha membuat orang lain senang. Lakukanlah walaupun kamu harus meninggalkan mereka dan sendirian…

 

Bumi bertuah, 14 April 2014

Oleh: Hudhafah As-Sahmi